Jumat, 15 Oktober 2010

antara Kita dan Sastra

LAHIRNYA Indonesia sebagai bangsa tak bisa dilepaskan dari karya sastra, khususnya puisi. Pada tanggal 28 Oktober 1928 sejumlah anak muda yang mempunyai naluri kepenyairan berkumpul dan secara kolektif berimajinasi tentang sebuah bangsa. Secara kolektif pula mereka menulis sebuah puisi yang indah, yang sekarang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Sebuah puisi yang mengimajinasikan sesuatu yang waktu itu belum ada, bahkan mungkin belum terbayangkan di pikiran banyak orang: bangsa, tanah air dan bahasa. Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut “Sumpah Pemuda” sebagai puisi besar yang dihasilkan anak-anak muda zaman dulu. Selain karena memenuhi kaidah untuk disebut puisi, di mana unsur-unsur puisi terdapat di dalamnya, isinya pun sangat imajinatif bahkan futuristik. Mengungkapkan sesuatu yang secara realitas belum ada. Sesuatu yang masih berupa utopia.

Meski para pemuda yang penuh imajinasi itu selanjutnya tidak dikenal sebagai penyair, namun sejarah mencatat bahwa kreativitas yang mereka ciptakan telah meletakkan pondasi bagi kemungkinan lahirnya sebuah bangsa, terutama dengan diikrarkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Melalui tangan para penyair setahap demi setahap bahasa Indonesia menemukan bentuknya, melalui tangan para penyair pula bahasa ini membangun kewibawaannya sebagai alat pemersatu bangsa. Puisi-puisi yang membangkitkan kesadaran serta kecintaan terhadap tanah air tak henti-hentinya ditulis para penyair, dari generasi ke generasi.

Gambaran di atas nampak sekali jika kita mengamati bagaimana para pejabat dan politisi berbahasa di televisi. Pidato-pidato yang diucapkan mereka terkesan datar, standar dan cenderung formal, baik dari sisi keindahan bahasa maupun kedalaman makna. Bandingkan misalnya dengan para pemimpin kita dulu yang pernah mengenyam pelajaran sastra secara sungguh-sungguh di sekolahnya. Pidato-pidato yang disampaikan baik oleh Bung Karno, Bung Hatta, Sjahril, Bung Tomo, Natsir maupun Hamka bukan hanya hidup dan indah namun sangat dalam maknanya, yang membuat bulu kuduk siapapun akan merinding mendengarnya. Begitu juga dengan generasi yang berada satu lapis di bawahnya. Kata-kata yang diucapkan merupakan kata-kata yang telah mereka pahami, mereka hayati dan mereka jalani. Kata-kata yang keluar dari hati, penuh impresi dan imajinasi. Bukan seperti busa diterjen yang meluap di kamar mandi.

Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian mengenai pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah di sejumlah negara. Konon setelah kemerdekaan berjalan, lebih-lebih setelah Orde Baru, para siswa di Indonesia tidak lagi mempunyai kewajiban membaca buku sastra, padahal di sejumlah negara setiap siswa diwajibkan membaca antara 5 sampai 32 buku setiap tahunnya. Sementara sekolah menengah pada zaman kolonial mewajibkan para siswa membaca minimal 25 buku, di samping kewajiban mengarang tentunya. Dengan data tersebut wajar jika kebanyakan pejabat dan politisi kita sekarang tidak suka membaca karya sastra. Apalagi mengapresiasinya dengan sungguh-sungguh. Wajar pula jika kemudian kita sangat sulit menemukan pejabat, politisi atau siapapun yang mempunyai kepekaan terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini.

Kini, kata-kata yang diucapkan mereka menjadi tidak sesuai dengan gerak bibirnya, dengan ekspresi wajahnya, dengan sorot matanya, dengan gestur tubuhnya, apalagi dengan suasana hatinya. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya asing bagi kehidupan mereka sendiri. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya belum benar-benar dipahami, benar-benar dihayati, apalagi dijalani.

Itulah mengapa sastra sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa...

Kebijakan Pemerintah + Sikap Positif = Kualitas Bahasa

Kebijakan Politik Pemerintah dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Kualitas Bahasa dan Sastra Indonesia


Seperti yang kita ketahui bersama bahwa bangsa kita memiliki bahasa yang beragam. Keberagaman bahasa di Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa sehingga perlu dijaga kedinamisan dan kelestariannya, serta keharmonisan hubungan antar penggunanya untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi jiwa Sumpah Pemuda dan Pembukaan UUD 1945. Pengembangan dan pemanfaatan potensi keanekaragaman bahasa perlu dimaksimalkan untuk mempertinggi daya serap dan daya ungkap bangsa terhadap nilai luhur budaya bangsa, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam upaya membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat.

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan, dan yang dinyatakan dalam undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XV, Pasal 36 sebagai bahasa negara, dan yang terus berkembang. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bahasa Indonesia telah terbukti berhasil mengikat keragaman bangsa Indonesia dalam satu semangat nasionalisme. Hal itu terbukti dan hasil perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, mereka berasal dari berbagai penjuru tanah air, kemudian berkumpul dan menyatakan ikrar yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk mengakui bertanah air satu ialah Tanah air Indonesia, berbangsa satu ialah bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan ialah bahasa Indonesia. Kemudian mereka mengambil manfaat dari ikatan persatuan itu melalui pilar bahasa persatuan, di samping pilar kebangsaan dan tanah air, hingga terwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Politik Bahasa Nasional
Selain bahasa Indonesia, di Indonesia juga digunakan bahasa daerah dan bahasa asing. Ketiga bahasa tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi yang berbeda, sebagaimana telah dirumuskan dalam Politik Bahasa Nasional. Politik Bahasa Nasional adalah kebijakan nasional yang berisi pengarahan, perencanaan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan keseluruhan masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia. Bahasa-bahasa itu sangat diperlukan untuk membangun kehidupan bangsa yang cerdas, kompetitif, berprestasi, dan tetap berpihak pada akar budaya bangsa sendiri.
Berkenaan dengan sastra, dalam kebijakan bahasa nasional ini secara tegas dibedakan antara sastra Indonesia, sastra daerah, dan sastra asing. Sastra Indonesia adalah karya sastra berbahasa Indonesia dan merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra daerah adalah sastra berbahasa daerah dan merupakan unsur kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional, sedangkan sastra asing dalam buku ini didefinisikan sastra asing adalah sastra berbahasa asing dan merupakan bagian dari kebudayaan asing.

Ketiganya memiliki kedudukan berbeda. Sebagai bagian kebudayaan nasional, sastra Indonesia berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya dalam upaya ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat dan solidaritas kebangsaan. Sastra daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis yang bersangkutan. Sementara itu, sastra asing yang merupakan bagian kebudayaan asing berkedudukan sebagai salah satu sumber inspirasi dan sumber pemahaman terhadap sebagian karya sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian.
Dalam kedudukannya masing-masing, ketiganya juga memiliki fungsi yang berbeda. Sastra Indonesia mempunyai fungsi untuk (1) menumbuhkan rasa kenasionalan, (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, dan (3) merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Sastra daerah mempunyai fungsi untuk (1) merekam kebudayaan daerah dan (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. Sastra asing mempunyai fungsi sebagai (1) pendorong penciptaan karya sastra di Indonesia, (2) sarana untuk lebih memahami sebagian sastra di Indonesia, (3) bahan kajian sastra bandingan, dan (4) menambahan wawasan mengenai kebudayaan asing.

Akibat adanya kontak bahasa, penggunaan bahasa tertentu seringkali merambah ranah penggunaan bahasa yang lain. Di dalam dokumen resmi, bahkan juga dalam peristiwa kenegaraan, penggunaan bahasa Indonesia sering dicampur dengan penggunaan bahasa asing. Dalam produk perfilman, persinetronan, dan periklanan, bahasa daerah tertentu juga sering masuk ke dalam penggunaan bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian, pengembangan, pembinaan, dan perlindungan atau pelestarian terhadap bahasa-bahasa di Indonesia. 

Kebijakan Pemerintah
Mengingat kehadiran bahasa daerah dan bahasa asing di Indonesia berdampak terhadap pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia, maka kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa Indonesia sangat penting peranannya. Kebijakan inilah yang akan mengatur pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa lain yang hidup dan berkembang di Indonesia agar manfaat serta fungsi masing-masing bahasa dapat dimaksimalkan. Perlunya pengaturan masalah kebahasaan dalam bentuk undang-undang juga telah diamanatkan oleh masyarakat melalui Kongres Bahasa Indonesia. Sejak Kongres Bahasa Indonesia VIII, para pakar, praktisi, pengajar, mahasiswa, dan pengguna bahasa Indonesia mengamanatkan perlunya pengaturan masalah kebahasaan di Indonesia dalam bentuk undang-undang. 

Berbagai usaha meningkatkan mutu bahasa Indonesia serta mutu pemakaiannya telah dilaksanakan, baik berupa produk huku sebagai landasan kerja maupun sebagai kerja sama antarinstansi dan kegiatan penyuluhan.
1. Dalam upaya meningkatkan mutu pemakaian bahasa Indonesia para pejabat telah dilaksanakan kegiatan penyegaran dan penyuluhan bahasa Indonesia untuk para pejabat eselon II, III, dan IV pada instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
2. Media masa, baik cetak maupun elektronik, terutama yang berada di Jakarta, telah memanfaatkan tenaga kebahasaan yang bertugas sebagai editor atau penyunting bahasa.
3. Dalam meningkatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah dan modern telah diterbitkan, antara lain, beberapa kamus istilah dan daftar istilah untuk empat bidang ilmu (Biologi, Fisika, Kimia, dan Matematika). Istilah-istilah itu merupakan hasil persidangan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim).
4. Pemupukan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia yang mencakupi unsur kebanggaan pada bahasa, kesetiaan pada bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa telah dan akan terus dilakukan melalui berbagai kegiatan penyuluhan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5. Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia telah dilaksanakan penyempurnaannya.
6. Dalam bidang sastra, upaya meningkatkan mutu dan jumlah karya sastra telah dilakukan melalui pemilihan dan pemberian penghargaan karya sastra, pemberian bimbingan, dan pengadaan berbagai kegiatan sayembara/lomba penulisan karya sastra dan esai sastra yang merupakan kegiatan Bulan Sastra setiap tahun (sejak 1991).
7. Upaya mengembangkan minat baca sastra, khususnya di kalangan siswa, telah dilakukan melalui penyuluhan serta diskusi sastra untuk siswa SLTA dan mahasiswa.
8. Upaya memasyarakatkan sastra yang telah dilakukan berupa penyajian karya sastra dalam bentuk kegiatan musikalisasi puisi, pendramaan prosa dan cerpen.
9. Penyusunan buku teori dan kritik sastra yang relevan dengan karya sastra Indonesia yang dapat dipakai sebagai acuan bagi para guru sastra, mahasiswa, dan peneliti sastra.

Apabila kebijakan politik pemerintah ini dapat disosialisasikan dan dipraktikan dengan baik dan benar oleh masyarakat, maka sejalan dengan itu fungsi bahasa Indonesia dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, jati diri bangsa, sarana pemersatu berbagai kelompok etnik, dan sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Selain itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan dan pemerintahan, lembaga pendidikan, pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, dan bahasa resmi media massa. Bahasa Indonesia juga dapat berfungsi sebagai sarana pengungkapan sastra Indonesia serta pemerkaya bahasa dan sastra daerah.

Kebijakan-kebijakan yang sudah disebutkan di atas tidak memusuhi bahasa asing, tetapi menempatkan peran bahasa asing pada posisi yang proporsional sebagai bahasa pengantar untuk komunikasi antar bangsa. Sementara bahasa daerah juga menempati proporsi yang sesuai sebagai bahasa pergaulan di dalam suku yang sama dan pemerkaya bahasa Indonesia. Dengan memahami kebijakan kebahasaan itu, bangsa Indonesia akan meningkatkan apresiasinya terhadap bahasa Indonesia dan memiliki ketahanan kebahasaan yang akan menghindarkan kita dari krisis identitas.
Setidaknya, upaya-upaya di atas dapat memberikan gambaran bahwa Kebijakan Politik Pemerintah terhadap bahasa dan sastra Indonesia sangatlah besar pengaruhnya dalam meningkatkan kualitas berbahasa dan bersastra, tidak hanya untuk kaum intelek, semua masyarakat harus berperan aktif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas bahasa dan sastra Indonesia, sehingga dapat menumbuhkan kembali semangat nasionalisme, serta menjadikan bahasa dan sastra sebagai karakter dan identitas bangsa.

Acuan:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Laporan Ketua Panitia Penyelenggara Mengenai Pelaksanaan Putusan Kongres Bahasa Indonesia V pada Kongres Bahasa Indonesia VI.
Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kebahasaan.